KEELOKAN CINTA PERTAMA
Cinta. Satu kata, namun berjuta rasa dan penuh warna. Siapa
yang tak kenal cinta. Pertanyaan bodoh ini tak perlu dijawab. Tuhan menciptakan
manusia tentunya dengan cinta. Jika Tuhan tidak cinta kepada manusia, tentunya
Ia tak akan menciptakan manusia, dan memilih duduk di singgasananya tanpa harus
berimajinasi memikirkan bagaimana menciptakan manusia.
Wahai. Dahulu aku mengira tak kan pernah mengenal yang
namanya cinta. Namun, sejak kedatanganmu di asrama ini mengubah segalanya. Aku
yang tabu akan cinta, aku juga yang menganggap bahwa cinta itu hanyalah ilusi
semata, apalagi aku sadar, jika takkan ada lelaki yang mau sama gadis yang
memiliki penyakit dan di dalam tubuhnya harus di pasangi alat.
Namun, kini hadir menghiyasi hari-hari yang tadinya
menurutku biasa-biasa saja.
Sore itu, aku duduk termenung di bawah pohon mangga yang
letaknya hanya beberapa meter dari musollah yang ada di dalam lingkup asramaku.
Bruuukk... Deeess… Bunyi suara ledakan Guntur membuyarkan
lamunanku disusul dengan tetesan air hujan yang perlahan-lahan membasahi
tubuhku.
Aku pun segera melangkahkan kaki lalu memasuki musollah.
Kemudian pelan-pelan aku jalan dan duduk di saf perempuan, tanpa menyadari
ternyata ada Putra bersama anak baru itu.
“Hei, Kiki. Kamukah itu?” Tanya Putra penasaran.
“ Ia.” Sahutku dengan nada datar.
“Ki, kamu sudah kenal sama anak baru itu?” Ujar Putra sambil
mencolek pinggang seseorang yang ada di sampingnya.
“Belum.” Sahutku yang mulai kesal.
Karena kesal Putra terus bertanya, aku lantas meninggalkan
mereka meski hujan deras mengguyur seluruh tubuhku.
Di depan pintu asrama, aku mengibas-ngibaskan pakaian yang
kukenakan, lalu menaiki tangga.
Ketika tiba di anak tangga terakhir, kak Tami, binaan paling
senior mengejekku ”Ki, kamu sudah kenal sama kak Adit?” Tanya kakak seniorku
sambil menyunggingkan senyum termanisnya.
“
“Ia, aku sudah ketemu sama anak baru itu. Tapi, itu pun
dikenalkan sama Putra.” Sahutku santai.
“oh, gitu. Eh, kiki. Ingat ya, kak Adit itu miliku, jadi
kamu jangan coba-coba mengganggunya!” Bentak Nina dengan wajah memerah sambil
mencengkram tangan Kiki.
“Nin, kamu tidak usah cemas, aku ini bukan kamu yang selalu
memburu lelaki.” Ujar Kiki sambil melontarkan hinaan kepada Nina.
Aku kemudian mengunci pintu kamar, lalu mandi, setelah itu
memakai pakaian yang kainnya tebal, karena hujan di luar sangat deras.
Adzan pun dikumandangkan, itu pertanda, jika sudah waktunya
kita shalat.
“Ki, kamu tidak shalat?” Tanya Tasya kepada Kiki.
“ia, ini aku sudah siap. Yuk, kita pergi!”
Setelah melaksanakan shalat isya, kami pun makan malam.
“Ki, tuh kak Adit. Katanya mau kenal dekat sama kamu.” Ujar
Nina dengan sinis.
“Elleh, bilang aja kalau kamu cemburu kan?” Ujar Ahmat
memanaskan suasana.
“Tidak. Lihat saja, Kak Adit pasti jadi miliku.” Sahut Nina
sambil menghentakkan piringnya dengan waja memerah bagai api yang siap melahap
sasarannya.
“oh, gitu. Ya sudah, kita lihat saja nanti!” Sahut Ahmat
masih dengan wajahnya yang mengejek.
Dua minggu pun berlalu.
Kak Tami mengajakku menemaninya menyanyi di aula. Dan
ternyata aku baru tahu, kalau kak Adit sangat pandai memainkan gitar.
“Tam, Kiki itu sudah kelas berapa?” Tanya Adit sambil
menyunggingkan senyum tipis.
“Kiki sekarang sudah kelas satu SMA. Memang kenapa kak,
kakak suka sama Kiki?” Tanya Tami sambil tersenyum bahagia.
“Hehe, memangnya tidak boleh.”
“Tidak, hanya saja, jika kak Adit sekedar ingin main-main
pada Kiki, lebih baik kak Adit mundur saja!” Tukas Tami.
“Kamu tenang saja Tam, aku tidak akan mengecewakan Kiki.”
Ujarnya dengan sorot mata yang memancarkan cinta.
“Baguslah kak. Aku hanya takut jika itu benar-benar terjadi.
Sebab aku dengar, jika kak Adit ini adalah flyboy cap kucing.”
Keesokan harinya, di depan dapur asrama, Adit pun sengaja
menggangguku dengan menarik keresek camilan yang aku bawah.
“Kakak, jangan!” Sahutku dengan rasa kesal bercampur malu.
“Oke, aku akan berikan keresek camilanmu ini, tapi kamu
harus memberikan aku juga!” Sahutnya menggoda sambil tersenyum manja.
Dia lalu mengambil coco cruns yang aku sodorkan ke
tangannya.
Kami akhirnya duduk saling membelakangi. Tanpa menghiraukan
Nina yang sejak tadi memperhatikan.
Dag dig dug. Jantungku berdetak kencang, ketika dia
mengatakan “Kiki, apakah kamu percaya yang namanya cinta?” Ujarnya sambil
meraih tanganku.
“Tidak.” Ujarku sambil berusaha melepaskan cengkraman
tangannya.
Sebelum dia mengatakan kalimat kedua, aku pun buru-buru
melepaskan tangannya kemudian berlari.
Keesokan paginya, aku sengaja bangun lebih awal, karena hari
ini ada ulangan harian yang akan diberikan oleh Guru Matematika.
Maka, sehabis sarapan, aku pun langsung menuju kelas, karena
hari ini aku sangat ingin menjawab semua soal-soal dengan kesiapan yang matang.
Namun, aku terkejut ketika melihat Nina datang dan menarik
jilbab abu-abu yang kukenakan, lalu melemparku ke lantai.
Saat itu pula, Adit datang dan menghardik Nina.
“Nina. Keterlaluan kamu.” Hardik Adit sambil mendorong Nina.
Dia pun membantuku berdiri, lalu membantu duduk di bangku.
“Kak. Terima kasih telah menolongku. Tapi, sebaiknya kak
Adit tidak usah mengganggu dan mencampuri urusanku lagi !” Tukasnya.
“Kiki. Aku mencintaimu. Jadi tolong, jangan tolak cintaku!”
Ujarnya dengan perasaan yang tulus.
“Lebih baik kakak lupakan aku, karena aku tidak mencintai
kakak.” Tukas Kiki.
Akhirnya, dia pun pergi meninggalkanku.
Enam hari setelah kejadian, aku kerap bermimpi tentang dia menangis
di hadapanku, serta mengatakan akan menemani menghadapi penyakit yang menggerogoti
tubuh yang lemah ini.
*** Karena kegelisahan yang kurasakan setelah mimpi itu,
akhirnya kuputuskan menemui kak Adit dan menceritakan semuanya, namun tak
kusangka, ternyata dia pun bermimpi hal yang sama denganku.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menerimanya, dan kak
Adit pun berjanji akan selalu mencintaiku serta menerima segala kekurangan yang
ada pada diriku.
Sebab sejatinya cinta, ialah mau mencintai kekurangan setiap
pasangan.
Comments
Post a Comment